Thursday, October 22, 2015

Konsep Pendidikan Islam Ala KH. Ahmad Dahlan

Disampaikan oleh Abdul Muttaqin dan Ahmad Sofyan


Seperti apa model pendidika yang ideal? itu adalah salah satu pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan seputar pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Maksudnya adalah membangun manusia Indonesia yang memiliki kemampuan di bidang Iptek namun juga tidak lepas dari kendalinya yaitu iman ddan takwa dan yang penting juga adalah tidak sampai melepas identitas bangsa Indonesia yang sarat dengan budaya ketimuran. Sekilas manusia Indonesia yang ideal adalah manusia Indonesia dengan berbagai adat kebudayaannya yang memiliki keahlian di semua lini teknologi dan ilmu pengetahuan namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan keudayaannya.
Lahirnya manusia Indonesia yang demikian tentunya tidak serta merta melainkan harus melewati sebuah proses. Pendidikan, iya itulah proses yang harus dilewati oleh semua orang. Lalu pertanyaan di atas tadi muncul dan berikut ini mungkin hanya salah sedikit dari alternatif jawaban yang bisa menjawab pertanyaan di atas.
A.    Pendahuluan/ Latar Belakang Masalah
Sejarah pemikiran dalam Islam memang merupakan bawaan dari ajaran Islam sendiri. Karena dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang memerintahkan untuk membaca, berfikir, menggunakan akal, yang kesemuanya medorong umat Islam terutama pada ahlinya untuk berfikir mengenai segala sesuatu guna mendapatkan kebenaran dan kebijaksanaan.
Kebangkitan pemikiran dalam dunia Islam baru muncul abad 19 yang dipelopori oleh Sayyid Jamalludin al-Afghani di Asia Afrika, Muhammad Abduh di mesir. Kedua tokoh ini di bawa oleh pelajar Indonesia yang belajar di Timur Tengah seperti diantaranya K.H. Ahmad Dahlan. Berbekal ilmu agama yang ia kuasai dan ide-ide pembaru dari Timur Tengah, K.H. Ahmad Dahlan mencoba menerapkannya di bumi Nusantara.
Muhammad Dahlan dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. la menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Mekkah selama lima tahun.
Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sarna, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (keislaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).
B.     Rumusan Masalah
            1.      Bagaimana riwayat hidup KH. Ahmad Dahlan?
            2.      Bagaimana kondisi sosial budaya masyarakat Jogjakarta?
            3.      Bagaimana konsep pemikiran pendidikan KH. Ahmad Dahlan?
C.    Pembahasan
            1.      Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan
a.      Riwayat Kelahiran dan Silsilah Keluarga
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 1868 dengan nama kecilnya adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo. Silsilah KH. Ahmad Dahlan ialah:
1.      Maulana Malik Ibrahim,
2.      Maulana Ishaq,
3.      Maulana 'Ainul Yaqin,
4.      Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen),
5.      Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom),
6.      Demang Djurung Djuru Sapisan,
7.      Demang Djurung Djuru Kapindo,
8.      Kyai Ilyas,
9.      Kyai Murtadla,
10.  KH. Muhammad Sulaiman,
11.  KH. Abu Bakar,
12.  Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
b.      Riwayat Pendidikan
Pada usia yang masih muda, ia membuat heboh dengan membuat  tanda shaf dalam masjid Agung dengan memakai kapur, tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Berdasarkan hasil penelitian yang sedehana Ahmad Dahlan berksimpulan bahwa kiblat di masjid Agung itu kurang benar dan oleh karna itu harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid Agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid dan tanda shaf ditulis dengn benar.
Atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, Ahmad Dahlan dikrim ke Mekkah untuk mempelajari masalah kiblat tersebut secara mendalam. Sekembalinya dari Mekkah Ahmad Dahlan diangkat sebagai khatib menggantikan ayahnya dan mendapat gelar “Mas”.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.
Kiai Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai yakni KH. Muhammad Shaleh di bidang ilmu fikih; dari KH. Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa); dari KH. Raden Dahlan di bidang ilmu falak (astronomi); dari Kiai Mahfud dan Syekh KH. Ayyat di bidang ilmu hadis; dari Syekh Amin dan Sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Quran, serta dari Syekh Hasan di bidang ilmu pengobatan dan racun binatang.
c.       Riwayat Perjuangan
Dengan maksud mengajar agama maka pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo, organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen.
Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal duni. Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330).
Organisasi Muhammadiyah bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun masyarakat Islam.
Bagi Kiai Dahlan, Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur'an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur'an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati. 
Ahmad Dahlan adalah seorang yang lebih bersifat pragmatikus yang sering menekankan semboyan kepada murid-muridnya, sedikit bicara, banyak bekerja. Beliau juga adalah seorang murid ulama Syafi’iyah, Syaikh Ahmad Khatib yang terkenal di Mekkah.
Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur'an.
Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.
Pada tanggal 01 Desember 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar dalam lingkungan keraton Yogya. Di sekolah ini pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen dan merupakan sekolah Islam swasta pertama yang mendapatkan subsidi pemerintah[1].
Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu, sekarang dikenal dengan nama Pramuka, dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.
Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman. Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang ada saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai sering diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang.
Melihat metoda pembaruan KH Ahmad Dahlan ini, beliaulah ulama Islam pertama atau mungkin satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan um’mat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan kitab karangan, melainkan dengan organisasi. Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak pernah mendirikan pondok pesantren seperti halnya ulama-ulama yang lain. Dan sepanjang pengetahuan, beliau juga konon belum pernah mengarang sesuatu kitab atau buku agama.
Pada usia 66 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta. Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tanggal 27 Desember 1961.
      2.      Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Sinkretisme masih tumbuh subur di tanah Jawa, lebih-lebih di sekitaran keraton Yogyakarta lingkungan di mana KH. Ahmad Dahlan tinggal. Masyarakat saat itu secara formal muslim, namun kepercayaan terhadap agama asli mereka yang animistis tidak beruah. Kepercayaan terhadap roh-roh halus, pemujaan arwah nenek moyang, takut pada yang angker, kuwalat dan sebagainya menyertai kepercayaan orang Jawa. Islam, Hindu, Budha dan animisme hadir secara bersama-sama dalam sistem kepercayaan mereka, yang dalam aqidah Islam banyak yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara Tauhid.[2]
Kolonialisme Belanda telah menjadikan kehidupan masyarakat semakin sengsara. Masyarakat tidak sejahtera, baik secara ekonomi maupun dalam hal pendidikan. Kondisi semacam ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk mensukseskan gerakan kristenisasi di tanah Jawa. Ini yang kemudian menjadikan KH. Ahmad Dahlan perihatin, di satu sisi masyarakat yang secara formal memeluk Islam meskipun praktiknya belum menunjukkan keislamannya yang kaffah dan di satu sisi yang lain pihak Belanda berusaha menarik masyarakat-masyarakat supaya meninggalkan agama Islam lewat program kristenisasi.[3]
Sekolah-sekolah model Belanda sudah mulai didirikan di Yogyakarta. Warga pribumi memang dizinkan sekolah di sekolah Belanda saat itu. Tujuan diperbolehkannya sekolah di sekolah Belanda tidak lain adalah agar Belanda bisa mendapatkan tenaga kerja yang dapat digaji murah namun mau mengabdi pada kepentingan Belanda.[4]
Belanda menanamkan faham-faham liberalisme dan individualisme di kalangan masyarakat Yogyakarta.[5] Tujuannya adalah supaya rasa persaudaraan dan kebersamaan masyarakat menjadi pudar sehingga Belanda merasa aman karena tidak ada lagi masyarakat yang berkeinginan untuk ersatu dan melawan Belanda.
Strata sosial yang menduduki posisi puncak adalah mereka warga kulit putih meskipun jumlahnya sedikit, baru kemudian lapisan di bawahnya adalah masyarakat yang memiliki kulit berwarna.
      3.      Konsep Pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Konsep pemikiran beliau di dalam pendidikan adalah perpaduan antara model pendidikan barat dan pendidikan pesantren yang sudah ada sejak seelumnya. Beliau mengawinkan model pendidikan barat dengan sistem klasikalnya dengan pendidikan ala pesantren. Perkawinan itu nampak ketika beliau memberikan pelajaran keagamaan di sekolah-sekolah gavernemen dan memberikan pelajaran-pelajaran umum di pesantren dengan sistem kalsikal.[6]
Konsep pemikiran yang demikian disebabkan oleh pengaruh lingkungan Yogyakarta yang sudah mulai modern, khususnya wilayah kota dimana beliau tinggal. Hal ini bisa dilihat pada sejarah kota Yogyakarta dari tahun 1917 – 1940, seperti yang diceritakan oleh M. Heni Yuliana di dalam penelitiannya. Orang-orang Eropa saat itu turut mempengaruhi kondisi sosial masyarakat Kota Yogyakarta. Saat itu fasilitas-fasilitas umum seperti rumah sakit, stasiun dan sekolah sudah didirikan oleh Belanda.[7]
KH. Ahmad Dahlan merasa tidak puas dengan system dan praktik pendidikan yang ada di Indonesia saat itu, dibuktikan dengan pandangannya mengenai tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat.[8] Karena itu KH. Ahmad Dahlan merentaskan beberapa pandangannya mengenai pendidikan dalam bentuk pendidikan model Muhammadiyah yang kita seut dengan konsep pendidikan integralistik.[9]
Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua yaitu pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler yang tidak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini K.H. Ahmad Dahlan  “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu.
Sistem pendidikan integralistik ini nampak dari usaha-usaha yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah:

  1. Mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern belanda dalam madrasah-madrasah pendidikan agama.
  2. Memberi muatan pengajaran islam pada sekolah-sekolah umum modern belanda.[10]
D.    Simpulan
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 1868 dengan nama kecilnya adalah Muhammad Darwisy. Beliau termasuk tokoh ulama’ yang tidak banyak memiliki karya tulis, namun beliau langsung menerapkan segala pemikirannya dengan tindakan yang nyata. Hal ini ditandai dengan berdirinya organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogyakarta.
Kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar Yogayakarta dan latar belakang pemikiran para guru dan temannya ketika menimba ilmu di kota suci Mekkah memuat beliau lebih moderat di dalam menerapkan model pendidikan.
Beliau menawarkan sebuah konsep sistem pendidikan integralistik. Beliau berupaya mengadopsi metode pendidikan barat untuk diterapkan pada model pendidikan pesantren yang sudah ada. Beliau juga berusaha sekuat tenaga untuk membentengi masyarakat Yogyakarta dari pengaruh kristenisasi, yaitu dengan cara ikut serta memberikan pelajaran keislaman pada sekolah-sekolah gubernemen. Beliau juga berupaya membuka pemikiran masyarakat yang masih tradisionalis guna membebaskan mereka dari pengaruh-pengaruh budaya lokal yang masih animistis. Beliau memberikan muatan-muatan pelajaran umum pada pendidikan pesantren.
E.     Daftar Pustaka
Hamzah Wirjosukarto, Amir. Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam. Jember: Mutiara Offset. 1985

Nata, Abuddin.  Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2005

Sari, Puspita. Kajian Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam Menurut Ahmad Dahlan. http://puspitabungsu.blogspot.co.id/2013/05/pendidikan-dalam-persepsi-kyai-haji.html. diakses pada tanggal 17 Oktober 2015

Tiar, Nissa. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan. https://www.academia.edu/7608840/PEMIKIRAN_K_H._AHMAD_DAHLAN. diakses pada tanggal 17 Oktober 2015

Yuliana, M. Heni. Keadaan Sosial Budaya Kotabaru Yogyakarta Pada Masa Kolonial (1917 – 1940). (Skripsi Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UNY: Yogyakarta. 2013)

Yulianto, Toni. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah di Indonesia. https://tonijulianto.wordpress.com/2012/12/14/sejarah-berdirinya-muhammadiyah-di-indonesia/. diakses pada tanggal 21 Oktober 2015



[1] Puspita Sari, Kajian Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam Menurut Ahmad Dahlan, http://puspitabungsu.blogspot.co.id/2013/05/pendidikan-dalam-persepsi-kyai-haji.html, diakses pada tanggal 17 Oktober 2015.
[2] Toni Yulianto, Sejarah Berdirinya Muhammadiyah di Indonesia, https://tonijulianto.wordpress.com/2012/12/14/sejarah-berdirinya-muhammadiyah-di-indonesia/, diakses pada tanggal 21 Oktober 2015.
[3] Ibid.
[4] M. Heni Yuliana, Keadaan Sosial Budaya Kotabaru Yogyakarta Pada Masa Kolonial (1917 – 1940), (Skripsi Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UNY, 2013), h. 32
[5] Ibid, h. 40.
[6] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005, h. 256
[7] M. Heni Yuliana, Op. Cit, h. 42
[8] Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jember: Mutiara Offset, 1985, h.  95
[9] Nissa Tiar, Pemikiran KH. Ahmad Dahlan, https://www.academia.edu/7608840/PEMIKIRAN_K_H._AHMAD_DAHLAN, diakses pada tanggal 17 Oktober 2015
[10] Ibid.

No comments:

Post a Comment

MONGGO KOMENTARIPUN, KANGMAS LAN MBAK AYU