Disampaikan oleh Nurul Huda dan Yaumi Nahdliyah
A.
Pendahuluan
Pendidik
dan peserta didik merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan Islam.
Kedua komponen ini saling berinteraksi dalam proses pembelajaran untuk
mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Oleh karena itu, pendidik sangat
berperan besar sekaligus menentukan ke mana arah potensi peserta didik yang
akan dikembangkan.
Demikian
pula peserta didik, ia tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi pada
saat-saat tertentu ia akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa
posisi peserta didik pun tidak hanya sekedar pasif laksana cangkir kosong yang
siap menerima air kapan dan dimanapun. Akan tetapi peserta didik harus aktif,
kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan gurunya, sekaligus dalam upaya
pengembangan keilmuannya.
Konsep
pendidik dalam perspektif pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri
yang sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Karakteristik
ini akan membedakan konsep pendidik dalam pandangan pendidikan lainnya. Hal itu
juga dapat ditelusuri melalui tugas dan persyaratan ideal yang harus dimiliki
oleh seorang pendidik dan peserta didik yang dikehendaki oleh Islam. Tentu
semua itu tidak terlepas dari landasan ajaran Islam itu sendiri, yaitu
al-Qur’an dan Sunnah yang menginginkan perkembangan pendidik tidak bertentangan
dengan ajaran kedua landasan tersebut sesuai dengan pemahaman maksimal manusia.
Jika
karakteristik yang diinginkan oleh pendidikan Islam tersebut dapat dipenuhi,
maka pendidikan yang berkualitas niscaya akan dapat diraih. Untuk itu, kajian
dan analisis filosofis sangat dibutuhkan dalam merumuskan konsep pendidik dalam
perspektif Filsafat Pendidikan Islam sehingga diperoleh pemahaman yang utuh
tentang Pendidik
Makalah
yang sederhana ini akan menguraikan tentang analisis filosofis tentang pendidik
dalam perspektif pendidikan Islam. Diharapkan makalah ini menjadi bahan diskusi
lebih lanjut agar dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang kedua
komponen itu sehingga berguna dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang
diinginkan secara efektif dan efisien.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
permasalahan sebagaimana tersebut didepan, maka rumusan permasalahan yang
diajukan dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan
islam?
2. Apa yang dimaksud pendidik dalam pendidikan
islam?
C.
Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui arti pendidikan islam
2. Untuk mengetahu arti pendidik dalam
pendidikan islam
D. Pembahasan
1.
Pengertian Pendidikan Islam
Menurut Muhammad As-Said,
pendidikan Islam adalah pendidikan Islami, pendidikan yang punya karakteristik
dan sifat keislaman, yakni pendidikan yang didirikan dan dikembangkan di atas
dasar ajaran Islam. Hal ini memberi arti yang signifikan, bahwa seluruh
pemikiran dan aktivitas pendidikan Islam tidak mungkin lepas dari ketentuan
bahwa semua pengembangan dan aktivitas kependidikan Islam haruslah benar-benar
merupakan realisasi atau pengembangan dari ajaran Islam itu sendiri[1]
Sedangkan menurut Fatah
Yasin mengutip pendapat dari HM. Arifin, ilmu pendidikan Islam adalah teori,
konsep dan atau pengetahuan tentang pendidikan yang berdasarkan Islam. Islam
adalah agama yang dibawa oleh Muhammad SAW. dan berisi seperangkat ajaran
tentang kehidupan manusia. Rumusan mengenai teori, konsep dan atau pengetahuan
tentang pendidikan bisa diambil dari sumber pokok ajaran Islam (Qur’an dan
Hadis), praktik pendidikan yang dilakukan oleh umat Islam sepanjang sejarah,
dan atau bisa juga diambil dari hasil pemikiran manusia yang bersifat mengembangkan
makna dari sumber pokok ajaran Islam, serta temuan dari fakta pengalaman
empirik dunia pendidikan, kemudian dijadikan sebagai pedoman normative untuk
melaksanakan proses pendidikan Islam.[2]
Lebih lanjut Mahmud
mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah aktivitas bimbingan yang disengaja
untuk mencapai kepribadian muslim, baik yang berkenaan dengan dimensi jasmani,
rohani, akal, maupun moral. Pendidikan Islam adalah proses bimbingan secara
sadar seorang pendidik sehingga aspek jasmani, rohani, dan akal anak didik
tumbuh dan berkembang menuju terbentuknya pribadi, keluarga, dan masyarakat
yang Islami.[3]
Dari berbagai pendapat
mengenai pendidikan Islam di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
Pendidikan Islam merupakan sekumpulan ide-ide dan konsep-konsep ilmiah dan
intelektual yang tersusun dan diperkuat melalui pengalaman dan pengetahuan
dengan tujuan mengantarkan umat islam menuju insane yang cerdas baik akal, hati
maupun tingka lakunya (akhlak).
2. Pengertian Pendidik Dalam Pendidikan Islam
a. Pengertian Guru
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya,
profesinya) mengajar. Definisi ini cakupan maknanya sangat luas, mengajar apa
saja bisa disebut guru, sehingga ada sebutan guru ngaji, guru silat, guru olah
raga, dan guru lainnya. Dalam dunia pendidikan, sebutan guru dikenal sebagai
pendidik dalam jabatan. Pendidik jabatan yang dikenal banyak orang adalah guru,
sehingga banyak pihak mengidentikkan pendidik dengan guru. Sebenarnya banyak
spesialisasi pendidik baik dalam arti teoritisi maupun praktisi yang pendidik
tapi bukan guru.[4]
Ada beberapa istilah dalam bahasa
Arab yang biasa dipakai sebagai sebutan bagi para guru, yaitu ustâdz, mu’allim,
mursyîd, murabbî, mudarris, dan mu-addib. Istilah-istilah ini, dalam
penggunaannya, memiliki makna tertentu. Muhaimin berupaya mengelaborasi
istilahistilah atau predikat tersebut sebagaimana dalam tabel berikut:
1. Ustadz adalah orang yang berkomitmen
terhadap profesionalisme, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen
terhadap mutu, proses, dan hasil kerja, serta sikap continous improvement.
2. Mu’allim adalah orang yang menguasai
ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan,
menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, atau sekaligus melakukan transfer
ilmu/pengetahuan, internalisasi, serta amaliah.
3. Murabbî adalah orang yang mendidik dan
menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan
memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat
dan alam sekitarnya.
4. Mursyîd adalah orang yang mampu menjadi
model atau sentral identifikasi diri, atau menjadi pusat anutan, teladan dan
konsultan bagi peserta didiknya.
5. Mudarris adalah orang yang memiliki
kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan
keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya,
memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat,
minat dan kemampuannya.
6. Mu-addib adalah orang yang mampu menyiapkan
peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas
di masa depan.[5]
b. Kedudukan Guru
Al-Ghazali menggambarkan kedudukan
guru agama sebagai berikut: ”Makhluk di atas bumi yang paling utama adalah
manusia, bagian manusia yang paling utama adalah hatinya. Seorang guru sibuk
menyempurnakan, memperbaiki, membersihkan dan mengarahkannya agar dekat kepada
Allah azza wajalla. Maka mengajarkan ilmu merupakan ibadah dan merupakan
pemenuhan tugas dengan khalifah Allah. Bahkan merupakan tugas kekhalifahan
Allah yang paling utama. Sebab Allah telah membukakan untuk hati seorang alim
suatu pengetahuan, sifat-Nya yang paling istimewa. Ia bagaikan gudang bagi
benda-benda yang paling berharga. Kemudian ia diberi izin untuk memberikan
kepada orang yang membutuhkan. Maka derajat mana yang lebih tinggi dari seorang
hamba yang menjadi perantara antara Tuhan dengan makhluk-Nya daam mendekatkan
mereka kepada Allah dan menggiring mereka menuju surga tempat peristirahatan
abadi.[6]
Dengan ungkapan senada, Ikhwân al-Ṣafâ
berkata “… guru telah mengisi jiwamu dengan ragam pengetahuan dan membimbingnya
ke jalan keselamatan dan keabadian, seperti apa yang telah dilakukan kedua
orang tuamu yang menyebabkan tubuhmu terlahir ke dunia, mengasuhmu dan
mengajarimu mencari nafkah hidup di dunia fana ini”.[7]
Kedudukan guru yang istimewa,
ternyata berimbang dengan tugas dan tanggungjawabnya yang tidak ringan. Seorang
guru agama bukan hanya sekedar sebagai tenaga pengajar, tetapi sekaligus
sebagai pendidik. Dengan kedudukan sebagai pendidik, guru berkewajiban untuk
mewujudkan tujuan pendidikan Islam, yaitu mengembangkan seluruh potensi peserta
didik agar menjadi muslim sempurna. Untuk mencapai tujuan ini, guru harus
berupaya melalui beragam cara seperti; mengajar, melatih, membiasakan, memberi
contoh, memberi dorongan, memuji, menghukum, dan bahkan mendoakan. Cara-cara
tersebut harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan konsisten. Suatu tugas yang
sangat berat.
c. Sifat-Sifat Guru
Mengingat beratnya tugas dan
tanggungjawab guru dalam Islam, tidak semua muslim bisa menjadi guru. Ada
banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Beberapa ahli pendidikan Islam telah
merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi guru, terutama dari aspek
kepribadian. Al-Gazâlî menyebut beberapa sifat yang harus dipenuhi guru, yaitu
: (a) kasih sayang dan lemah lembut; (b) tidak mengharap upah, pujian, ucapan
terima kasih atau balas jasa ; (c) jujur dan terpercaya bagi murid-muridnya;
(d) membimbing dengan kasih sayang, tidak dengan marah ; (e) luhur budi dan
toleransi; (f) tidak merendahkan ilmu lain di luar spesialisasinya; (g)
memperhatikan perbedaan individu; dan (h) konsisten.[8]
Abd al-Raḥman al-Naḥlâwî menyebutkan
beberapa sifat yang harus dimiliki para pendidik, yaitu; (a) bersifat rabbâni,
yaitu semua aktifitas, gerak dan langkah, niat dan ucapan, sejalan dengan
nilai-nilai Islam; (b) ikhlas; (c) penyabar; (d) jujur, terutama adanya
kesamaan antara yang disampaikan (kepada murid) dengan yang dilakukan; (e)
selalu berusaha meningkatkan ilmu dan terus mengkajinya; (f) menguasai berbagai
metode mengajar dan mampu memilih metode yang sesuai; (g) mampu mengelola
murid, tegas dalam bertindak serta meletakkan berbagai perkara secara
proporsional; (h) memahami perkembangan psikis anak; (i) tanggap terhadap
berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang mempengaruhi jiwa, keyakinan dan
pola berpikir angkatan muda; dan (j) bersikap adil dalam menghadapi murid.[9]
d. Guru Profesional
Apa yang disampaikan para ahli
pendidikan Islam di atas adalah persyaratan guru agama secara umum. Sedangkan
bagi guru agama profesional, ada beberapa syarat tambahan yang harus dipenuhi.
Untuk kasus Indonesia, misalnya, ketentuan tentang guru profesional diatur
dalam Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 1 ayat (1)
dinyatakan, guru adalah “pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah”.[10]
Istilah profesional dalam definisi
guru di atas, menunjuk pada pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta
memerlukan pendidikan profesi
Ada empat kompetensi yang harus
dimiliki guru profesional, yaitu; kompetensi pedagogik (kemampuan mengelola
pembelajaran), kompetensi kepribadian (kemampuan kepribadian yang mantap,
berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik),
kompetensi profesional (kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan
mendalam), dan kompetensi sosial (kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
orang tua/walai peserta didik, dan masyarakat sekitar).[11]
Sifat-sifat guru rumusan para ahli
pendidikan Islam (sebagaimana disebut sebelumnya) dapat dikelompokkan ke dalam
empat kompetensi di atas. Dan karena keempat kompetensi tersebut masih bersifat
umum, maka untuk guru agama Islam, empat kompetensi tersebut perlu
diformulasikan menjadi; kompetensi pedagogik-religius, kompetensi
kepribadian-religius, kompetensi sosial-religius, dan kompetensi
profesional-religius. Kata religius perlu melandasi setiap kompetensi untuk
menunjukkan adanya komitmen pendidik dengan ajaran Islam sebagai ruhnya,
sehingga segala masalah pendidikan dihadapi, dipertimbangkan, dan dipecahkan,
serta ditempatkan dalam perspektif Islam.
E.
Kesimpulan
Pendidikan Islam
merupakan sekumpulan ide-ide dan konsep-konsep ilmiah dan intelektual yang
tersusun dan diperkuat melalui pengalaman dan pengetahuan dengan tujuan
mengantarkan umat islam menuju insane yang cerdas baik akal, hati maupun tingka
lakunya (akhlak).
Al-Ghazali menggambarkan kedudukan
guru agama sebagai berikut: ”Makhluk di atas bumi yang paling utama adalah
manusia, bagian manusia yang paling utama adalah hatinya. Seorang guru sibuk
menyempurnakan, memperbaiki, membersihkan dan mengarahkannya agar dekat kepada
Allah azza wajalla. Maka mengajarkan ilmu merupakan ibadah dan merupakan
pemenuhan tugas dengan khalifah Allah. Bahkan merupakan tugas kekhalifahan
Allah yang paling utama. Sebab Allah telah membukakan untuk hati seorang alim
suatu pengetahuan, sifat-Nya yang paling istimewa. Ia bagaikan gudang bagi
benda-benda yang paling berharga. Kemudian ia diberi izin untuk memberikan
kepada orang yang membutuhkan. Maka derajat mana yang lebih tinggi dari seorang
hamba yang menjadi perantara antara Tuhan dengan makhluk-Nya daam mendekatkan
mereka kepada Allah dan menggiring mereka menuju surga tempat peristirahatan
abadi.
Ada empat kompetensi yang harus
dimiliki guru profesional, yaitu; kompetensi pedagogik (kemampuan mengelola
pembelajaran), kompetensi kepribadian (kemampuan kepribadian yang mantap,
berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik),
kompetensi profesional (kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan
mendalam), dan kompetensi sosial (kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
orang tua/walai peserta didik, dan masyarakat sekitar).
F.
Daftar Pustaka
As-Said, Muhammad, Filsafat Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2011.
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam,
Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Yasin, A. Fatah, Dimensi-dimensi Pendidikan
Islam, Yogyakarta: Sukses Offset, 2008.
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial; Teori
Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, 2000.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi, Jakarta : RajaGrafindo Perkasa, 2005.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj. Ahmad
Hakim dan Imam Azis, Jakarta : P3M, 1990), hlm. 41-42. Untuk kutipan asli,
periksa dalam Muḥammad ibn Muḥammad Abû Ḥâmid al-Gazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn,
Juz I, Kairo : Dâr al-Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabîyah, t.th.
Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam;
Perspektif Sosiologis-Filosofis, terj. Mahmud Arif, Yogyakarta : Tiara
Wacana, 2002.
Abd al-Raḥman an-Naḥlâwî, Uṣûl
al-Tarbîyah al-Islâmîyah wa Asâlîbuhâ fî al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’
Beirut : Dâr al-Fikr, 1996.
Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Guru
dan Dosen Nomor 14/2005
Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam ; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar
Operasionalisasinya, Bandung : Trigenda Karya, 1993
[1] Muhammad As-Said, Filsafat Pendidikan
Islam, hlm. 10.
[2] A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), hlm. 4-4.
[3] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam,
hlm. 25.
[4] Noeng Muhadjir, Ilmu
Pendidikan dan Perubahan Sosial; Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif
(Yogyakarta : Rake Sarasin, 2000), hlm. 73.
[5] Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi
(Jakarta : RajaGrafindo Perkasa, 2005), hlm. 50.
[6] Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep
Pendidikan Al-Ghazali, terj. Ahmad Hakim dan Imam Azis (Jakarta : P3M,
1990), hlm. 41-42. Untuk kutipan asli, periksa dalam Muḥammad ibn Muḥammad Abû
Ḥâmid al-Gazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz I, (Kairo : Dâr al-Ihyâ’ al-Kutub
al-‘Arabîyah, t.th), hlm. 53.
[7] Muhammad Jawwad Ridla, Tiga
Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Perspektif Sosiologis-Filosofis, terj.
Mahmud Arif (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2002), hlm. 169.
[8] Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep
Pendidikan Al-Ghazali, terj. Ahmad Hakim dan Imam Azis (Jakarta : P3M,
1990), hlm. 41-42.
[9] Abd al-Raḥman an-Naḥlâwî, Uṣûl
al-Tarbîyah al-Islâmîyah wa Asâlîbuhâ fî al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’
(Beirut : Dâr al-Fikr, 1996), hlm. 171-176.
[10] Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14/2005
[11] Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran
Pendidikan Islam ; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya
(Bandung : Trigenda Karya, 1993), hlm. 173
No comments:
Post a Comment
MONGGO KOMENTARIPUN, KANGMAS LAN MBAK AYU