Friday, October 23, 2015

Tinjauan Filosofis Pendidik dalam Pendidikan Islam

Disampaikan oleh Nurul Huda dan Yaumi Nahdliyah



A.    Pendahuluan
Pendidik dan peserta didik merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan Islam. Kedua komponen ini saling berinteraksi dalam proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Oleh karena itu, pendidik sangat berperan besar sekaligus menentukan ke mana arah potensi peserta didik yang akan dikembangkan.


Demikian pula peserta didik, ia tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi pada saat-saat tertentu ia akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa posisi peserta didik pun tidak hanya sekedar pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima air kapan dan dimanapun. Akan tetapi peserta didik harus aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan gurunya, sekaligus dalam upaya pengembangan keilmuannya.
Konsep pendidik dalam perspektif pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri yang sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Karakteristik ini akan membedakan konsep pendidik dalam pandangan pendidikan lainnya. Hal itu juga dapat ditelusuri melalui tugas dan persyaratan ideal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dan peserta didik yang dikehendaki oleh Islam. Tentu semua itu tidak terlepas dari landasan ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang menginginkan perkembangan pendidik tidak bertentangan dengan ajaran kedua landasan tersebut sesuai dengan pemahaman maksimal manusia.
Jika karakteristik yang diinginkan oleh pendidikan Islam tersebut dapat dipenuhi, maka pendidikan yang berkualitas niscaya akan dapat diraih. Untuk itu, kajian dan analisis filosofis sangat dibutuhkan dalam merumuskan konsep pendidik dalam perspektif Filsafat Pendidikan Islam sehingga diperoleh pemahaman yang utuh tentang Pendidik
Makalah yang sederhana ini akan menguraikan tentang analisis filosofis tentang pendidik dalam perspektif pendidikan Islam. Diharapkan makalah ini menjadi bahan diskusi lebih lanjut agar dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang kedua komponen itu sehingga berguna dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan secara efektif dan efisien.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana tersebut didepan, maka rumusan permasalahan yang diajukan dalam makalah ini adalah :
1.    Apa yang dimaksud dengan pendidikan islam?
2.    Apa yang dimaksud pendidik dalam pendidikan islam?
C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui arti pendidikan islam
2.      Untuk mengetahu arti pendidik dalam pendidikan islam
D.    Pembahasan
1.      Pengertian Pendidikan Islam
Menurut Muhammad As-Said, pendidikan Islam adalah pendidikan Islami, pendidikan yang punya karakteristik dan sifat keislaman, yakni pendidikan yang didirikan dan dikembangkan di atas dasar ajaran Islam. Hal ini memberi arti yang signifikan, bahwa seluruh pemikiran dan aktivitas pendidikan Islam tidak mungkin lepas dari ketentuan bahwa semua pengembangan dan aktivitas kependidikan Islam haruslah benar-benar merupakan realisasi atau pengembangan dari ajaran Islam itu sendiri[1]
Sedangkan menurut Fatah Yasin mengutip pendapat dari HM. Arifin, ilmu pendidikan Islam adalah teori, konsep dan atau pengetahuan tentang pendidikan yang berdasarkan Islam. Islam adalah agama yang dibawa oleh Muhammad SAW. dan berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia. Rumusan mengenai teori, konsep dan atau pengetahuan tentang pendidikan bisa diambil dari sumber pokok ajaran Islam (Qur’an dan Hadis), praktik pendidikan yang dilakukan oleh umat Islam sepanjang sejarah, dan atau bisa juga diambil dari hasil pemikiran manusia yang bersifat mengembangkan makna dari sumber pokok ajaran Islam, serta temuan dari fakta pengalaman empirik dunia pendidikan, kemudian dijadikan sebagai pedoman normative untuk melaksanakan proses pendidikan Islam.[2]
Lebih lanjut Mahmud mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah aktivitas bimbingan yang disengaja untuk mencapai kepribadian muslim, baik yang berkenaan dengan dimensi jasmani, rohani, akal, maupun moral. Pendidikan Islam adalah proses bimbingan secara sadar seorang pendidik sehingga aspek jasmani, rohani, dan akal anak didik tumbuh dan berkembang menuju terbentuknya pribadi, keluarga, dan masyarakat yang Islami.[3]
Dari berbagai pendapat mengenai pendidikan Islam di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Pendidikan Islam merupakan sekumpulan ide-ide dan konsep-konsep ilmiah dan intelektual yang tersusun dan diperkuat melalui pengalaman dan pengetahuan dengan tujuan mengantarkan umat islam menuju insane yang cerdas baik akal, hati maupun tingka lakunya (akhlak).
2.      Pengertian Pendidik Dalam Pendidikan Islam
a.       Pengertian Guru
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Definisi ini cakupan maknanya sangat luas, mengajar apa saja bisa disebut guru, sehingga ada sebutan guru ngaji, guru silat, guru olah raga, dan guru lainnya. Dalam dunia pendidikan, sebutan guru dikenal sebagai pendidik dalam jabatan. Pendidik jabatan yang dikenal banyak orang adalah guru, sehingga banyak pihak mengidentikkan pendidik dengan guru. Sebenarnya banyak spesialisasi pendidik baik dalam arti teoritisi maupun praktisi yang pendidik tapi bukan guru.[4]
Ada beberapa istilah dalam bahasa Arab yang biasa dipakai sebagai sebutan bagi para guru, yaitu ustâdz, mu’allim, mursyîd, murabbî, mudarris, dan mu-addib. Istilah-istilah ini, dalam penggunaannya, memiliki makna tertentu. Muhaimin berupaya mengelaborasi istilahistilah atau predikat tersebut sebagaimana dalam tabel berikut:
1.      Ustadz adalah orang yang berkomitmen terhadap profesionalisme, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu, proses, dan hasil kerja, serta sikap continous improvement.
2.      Mu’allim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, atau sekaligus melakukan transfer ilmu/pengetahuan, internalisasi, serta amaliah.
3.      Murabbî adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.
4.      Mursyîd adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri, atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.
5.      Mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.
6.      Mu-addib adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.[5]
b.      Kedudukan Guru
Al-Ghazali menggambarkan kedudukan guru agama sebagai berikut: ”Makhluk di atas bumi yang paling utama adalah manusia, bagian manusia yang paling utama adalah hatinya. Seorang guru sibuk menyempurnakan, memperbaiki, membersihkan dan mengarahkannya agar dekat kepada Allah azza wajalla. Maka mengajarkan ilmu merupakan ibadah dan merupakan pemenuhan tugas dengan khalifah Allah. Bahkan merupakan tugas kekhalifahan Allah yang paling utama. Sebab Allah telah membukakan untuk hati seorang alim suatu pengetahuan, sifat-Nya yang paling istimewa. Ia bagaikan gudang bagi benda-benda yang paling berharga. Kemudian ia diberi izin untuk memberikan kepada orang yang membutuhkan. Maka derajat mana yang lebih tinggi dari seorang hamba yang menjadi perantara antara Tuhan dengan makhluk-Nya daam mendekatkan mereka kepada Allah dan menggiring mereka menuju surga tempat peristirahatan abadi.[6]
Dengan ungkapan senada, Ikhwân al-Ṣafâ berkata “… guru telah mengisi jiwamu dengan ragam pengetahuan dan membimbingnya ke jalan keselamatan dan keabadian, seperti apa yang telah dilakukan kedua orang tuamu yang menyebabkan tubuhmu terlahir ke dunia, mengasuhmu dan mengajarimu mencari nafkah hidup di dunia fana ini”.[7]
Kedudukan guru yang istimewa, ternyata berimbang dengan tugas dan tanggungjawabnya yang tidak ringan. Seorang guru agama bukan hanya sekedar sebagai tenaga pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik. Dengan kedudukan sebagai pendidik, guru berkewajiban untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam, yaitu mengembangkan seluruh potensi peserta didik agar menjadi muslim sempurna. Untuk mencapai tujuan ini, guru harus berupaya melalui beragam cara seperti; mengajar, melatih, membiasakan, memberi contoh, memberi dorongan, memuji, menghukum, dan bahkan mendoakan. Cara-cara tersebut harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan konsisten. Suatu tugas yang sangat berat.
c.       Sifat-Sifat Guru
Mengingat beratnya tugas dan tanggungjawab guru dalam Islam, tidak semua muslim bisa menjadi guru. Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Beberapa ahli pendidikan Islam telah merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi guru, terutama dari aspek kepribadian. Al-Gazâlî menyebut beberapa sifat yang harus dipenuhi guru, yaitu : (a) kasih sayang dan lemah lembut; (b) tidak mengharap upah, pujian, ucapan terima kasih atau balas jasa ; (c) jujur dan terpercaya bagi murid-muridnya; (d) membimbing dengan kasih sayang, tidak dengan marah ; (e) luhur budi dan toleransi; (f) tidak merendahkan ilmu lain di luar spesialisasinya; (g) memperhatikan perbedaan individu; dan (h) konsisten.[8]
Abd al-Raḥman al-Naḥlâwî menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki para pendidik, yaitu; (a) bersifat rabbâni, yaitu semua aktifitas, gerak dan langkah, niat dan ucapan, sejalan dengan nilai-nilai Islam; (b) ikhlas; (c) penyabar; (d) jujur, terutama adanya kesamaan antara yang disampaikan (kepada murid) dengan yang dilakukan; (e) selalu berusaha meningkatkan ilmu dan terus mengkajinya; (f) menguasai berbagai metode mengajar dan mampu memilih metode yang sesuai; (g) mampu mengelola murid, tegas dalam bertindak serta meletakkan berbagai perkara secara proporsional; (h) memahami perkembangan psikis anak; (i) tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang mempengaruhi jiwa, keyakinan dan pola berpikir angkatan muda; dan (j) bersikap adil dalam menghadapi murid.[9]
d.      Guru Profesional
Apa yang disampaikan para ahli pendidikan Islam di atas adalah persyaratan guru agama secara umum. Sedangkan bagi guru agama profesional, ada beberapa syarat tambahan yang harus dipenuhi. Untuk kasus Indonesia, misalnya, ketentuan tentang guru profesional diatur dalam Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 1 ayat (1) dinyatakan, guru adalah “pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.[10]
Istilah profesional dalam definisi guru di atas, menunjuk pada pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi
Ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru profesional, yaitu; kompetensi pedagogik (kemampuan mengelola pembelajaran), kompetensi kepribadian (kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik), kompetensi profesional (kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam), dan kompetensi sosial (kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/walai peserta didik, dan masyarakat sekitar).[11]
Sifat-sifat guru rumusan para ahli pendidikan Islam (sebagaimana disebut sebelumnya) dapat dikelompokkan ke dalam empat kompetensi di atas. Dan karena keempat kompetensi tersebut masih bersifat umum, maka untuk guru agama Islam, empat kompetensi tersebut perlu diformulasikan menjadi; kompetensi pedagogik-religius, kompetensi kepribadian-religius, kompetensi sosial-religius, dan kompetensi profesional-religius. Kata religius perlu melandasi setiap kompetensi untuk menunjukkan adanya komitmen pendidik dengan ajaran Islam sebagai ruhnya, sehingga segala masalah pendidikan dihadapi, dipertimbangkan, dan dipecahkan, serta ditempatkan dalam perspektif Islam.
E.     Kesimpulan
Pendidikan Islam merupakan sekumpulan ide-ide dan konsep-konsep ilmiah dan intelektual yang tersusun dan diperkuat melalui pengalaman dan pengetahuan dengan tujuan mengantarkan umat islam menuju insane yang cerdas baik akal, hati maupun tingka lakunya (akhlak).
Al-Ghazali menggambarkan kedudukan guru agama sebagai berikut: ”Makhluk di atas bumi yang paling utama adalah manusia, bagian manusia yang paling utama adalah hatinya. Seorang guru sibuk menyempurnakan, memperbaiki, membersihkan dan mengarahkannya agar dekat kepada Allah azza wajalla. Maka mengajarkan ilmu merupakan ibadah dan merupakan pemenuhan tugas dengan khalifah Allah. Bahkan merupakan tugas kekhalifahan Allah yang paling utama. Sebab Allah telah membukakan untuk hati seorang alim suatu pengetahuan, sifat-Nya yang paling istimewa. Ia bagaikan gudang bagi benda-benda yang paling berharga. Kemudian ia diberi izin untuk memberikan kepada orang yang membutuhkan. Maka derajat mana yang lebih tinggi dari seorang hamba yang menjadi perantara antara Tuhan dengan makhluk-Nya daam mendekatkan mereka kepada Allah dan menggiring mereka menuju surga tempat peristirahatan abadi.
Ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru profesional, yaitu; kompetensi pedagogik (kemampuan mengelola pembelajaran), kompetensi kepribadian (kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik), kompetensi profesional (kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam), dan kompetensi sosial (kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/walai peserta didik, dan masyarakat sekitar).
F.     Daftar Pustaka
As-Said, Muhammad, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2011.
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Yasin, A. Fatah, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Sukses Offset, 2008.
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial; Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, 2000.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Jakarta : RajaGrafindo Perkasa, 2005.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj. Ahmad Hakim dan Imam Azis, Jakarta : P3M, 1990), hlm. 41-42. Untuk kutipan asli, periksa dalam Muḥammad ibn Muḥammad Abû Ḥâmid al-Gazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz I, Kairo : Dâr al-Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabîyah, t.th.
Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Perspektif Sosiologis-Filosofis, terj. Mahmud Arif, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2002.
Abd al-Raḥman an-Naḥlâwî, Uṣûl al-Tarbîyah al-Islâmîyah wa Asâlîbuhâ fî al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’ Beirut : Dâr al-Fikr, 1996.
Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14/2005
Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam ; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung : Trigenda Karya, 1993


[1] Muhammad As-Said, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 10.
[2] A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), hlm. 4-4.
[3] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, hlm. 25.
[4] Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial; Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif (Yogyakarta : Rake Sarasin, 2000), hlm. 73.
[5] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta : RajaGrafindo Perkasa, 2005), hlm. 50.
[6] Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj. Ahmad Hakim dan Imam Azis (Jakarta : P3M, 1990), hlm. 41-42. Untuk kutipan asli, periksa dalam Muḥammad ibn Muḥammad Abû Ḥâmid al-Gazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz I, (Kairo : Dâr al-Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabîyah, t.th), hlm. 53.
[7] Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Perspektif Sosiologis-Filosofis, terj. Mahmud Arif (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2002), hlm. 169.
[8] Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj. Ahmad Hakim dan Imam Azis (Jakarta : P3M, 1990), hlm. 41-42.
[9] Abd al-Raḥman an-Naḥlâwî, Uṣûl al-Tarbîyah al-Islâmîyah wa Asâlîbuhâ fî al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’ (Beirut : Dâr al-Fikr, 1996), hlm. 171-176.
[10] Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14/2005
[11] Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam ; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung : Trigenda Karya, 1993), hlm. 173

No comments:

Post a Comment

MONGGO KOMENTARIPUN, KANGMAS LAN MBAK AYU