Disampaikan oleh Muhammad Luqman Hakim dan Mutolingah
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan bimbingan dan pertolongan secara sadar yang diberikan
oleh pendidik kepada peserta didik sesuai dengan perkembangan jasmaniah dan
rohaniah ke arah kedewasaan. Peserta didik di dalam mencari nilai-nilai hidup,
harus dapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam,
saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah sedangkan alam
sekitarnya akan memberi corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama
peserta didik.[[1]]
Hal
ini sebagaimana firman Allah SWT:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ
لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S Ar-Rum : 30)
كل مولود
يولد على الفطرة
Dilihat dari segi kedudukannya, peserta didik adalah makhluk yang sedang
berada dalam proses pekembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya
masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisiten
menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya.[[2]] Dengan demikian, maka agar
pendidikan Islam dapat berhasil dengan sebaik-baiknya haruslah menempuh jalan
pendidikan yang sesuai dengan perkembangan fitrah anak didik.
Berkaitan dengan hal di atas, maka peseta didik dalam pendidikan Islam memiliki
aspek-aspek penting yang perlu kita kaji dan kembangkan dalam kajian
pendidikan. Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini kami akan menjelaskan
tentang pengertian peserta didik dalam pendidikan Islam, kebutuhan-kebutuhan
peserta didik, karakteristik peserta didik, dan sifat-sifat serta kode etik
peserta didik dalam pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksudpesertadidik ?
2.
Apakah yang dimaksud dengan
peserta didik dalam pendidikan Islam?
3.
Apa kebutuhan-kebutuhan peserta
didik dalam pendidikan Islam?
4.
Bagaimana karakteristik peserta
didik dalam pendidikan Islam?
5.
Bagaimana sifat-sifat dan kode
etik peserta didik dalam pendidikan Islam?
C.
Pembahasan
1. Definisi Peserta Didik
Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat
pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau
individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan
bimbingan dan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari
struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang
individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari
segi fisik dan mental maupun fikiran.
Peserta didik adalah setiap manusia yang sepanjang hidupnya selalu dalam
perkembangan. Kaitannya dengan pendidikan adalah bahwa perkembangan peserta
didik itu selalu menuju kedewasaan dimana semuanya itu terjadi karena adanya
bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh pendidik
Siswa atau peserta didik adalah salah satu komponen manusia yang menempati
posisi sentral dalam proses belajar-mengajar, peserta didiklah yang menjadi
pokok persoalan dan sebagai tumpuan perhatian. Di dalam proses belajar
mengajar, siswa sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan dan
kemudian ingin mencapainya secara optimal. Peserta didik itu akan menjadi
faktor “penentu”, sehingga menuntut dan dapat mempengaruhi segala sesuatu yang
diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya.[[3]] Itulah sebabnya sisa atau peserta
didik adalah merupakan subjek belajar.
2. Definisi Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Dengan berpijak pada paradigma “belajar sepanjang masa”, maka istilah yang
tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik dan bukan
anak didik. Peserta didik cakupannya lebih luas, yang tidak hanya melibatkan
anak-anak, tetapi juga pada orang-orang dewasa. Sementara istilah anak didik
hanya dikhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak. Penyebutan peserta
didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya di sekolah
(pendidikan formal), tapi juga lembaga pendidikan di masyarakat, seperti
Majelis Taklim, Paguyuban, dan sebagainya.[[4]]
Secara etimologi, murid berarti “orang yang menghendaki”. Sedangkan menurut
arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan
seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan thalib secara
bahasa berarti orang yang mencari, sedangkan menurut istilah tasawuf adalah
penempuh jalan spiritual, dimana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk
mencapai derajat sufi. Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta
didik pada sekolah tingkat dasar dan menengah, sementara untuk perguruan tinggi
lazimnya disebut dengan mahasiswa.[[5]]
Peserta didik adalah amanat bagi para pendidiknya. Jika ia dibiasakan untuk
melakukan kebaikan, niscaya ia akan tumbuh menjadi orang yang baik, selanjutnya
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhiratlah kedua orang tuanya dan juga setiap
mu’alim dan murabbi yang menangani pendidikan dan
pengajarannya. Sebaliknya, jika peserta didik dibiasakan melakukan hal-hal yang
buruk dan ditelantarkan tanpa pendidikan dan pengajaran seperti hewan ternak
yang dilepaskan beitu saja dengan bebasnya, niscaya dia akan menjadi seorang
yang celaka dan binasa.
Sama halnya dengan teori barat, peserta didik dalam pendidikan Islam adalah
individu sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial,
dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Definisi
tersebut memberi arti bahwa peserta didik merupakan individu yang belum dewasa,
yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Anak
kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di
sekolah, dan umat beragama menjadi peserta didik masyarakat sekitarnya, dan
umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.[[6]]
Dengan demikian dalam konsep pendidikan Islam, tugas mengajar, mendidik,
dan memberikan tuntunan sama artinya dengan upaya untuk meraih surga.
Sebaliknya, menelantarkan hal tersebut berarti sama dengan mejerumuskan diri ke
dalam neraka. Jadi, kita tidak boleh melalaikan tugas ini, terlebih lagi Nabi
bersabda:
أَكْرِمُوْااَبْنَاءَكُمْ
وَأَحْسِنُوْا اَدَبَهُمْ
Artinya: “Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik” (hadits
diketengahkan oleh Ibnu Majah 2/1211, tetapi Al-Albani menilainya dha’if)
Menurut Langeveld anak manusia itu memerlukan pendidikan, karena ia berada
dalam keadaan tidak berdaya (hulpeoosheid).[[7]] Dalam Al-Quran dijelaskan:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ
أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ
وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur”.(QS. An-Nahl: 78)
Peserta didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan
sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan
dalam keadaan lemah dan suci/fitrah sedangkan alam sekitarnya akan memberi
corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama peserta didik.[[8]]
Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW., yang berbunyi:
مَامِنْ مَوْلُوْدٍ
اِلَّايُوْلَدُعلَىَ الْفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِ اَوْيُنَصِّرَانِهِ
اَوْيُمَجِّسَانِهِ (رواه مسلم)
Artinya: “Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membaa
fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah
yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani, Majusi (HR. Muslim)
Menurut hadis ini manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan; kemampuan
itulah yang disebut pembawaan. Fitrah yang disebut di dalam hadis itu adalah
potensi. Potensi adalah kemampuan; jadi fitrah yang dimaksud disini adalah
pembawaan. Ayah-ibu dalam hadis ini adalah lingkungan sebagaimana yang dimaksud
oleh para ahli pendidikan. Kedua-duanya itulah, menurut hadis ini, yang
menentukan perkembangan seseorang.[[9]]
Manusia memepunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyak potensi
yang dibawanya. Dalam garis besarnya, kecenderungan itu dapat dibagi dua, yaitu
kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan menjadi orang yang
jahat. Kecenderungan beragama termasuk ke dalam kecenderungan menjadi baik.
Firman Allah dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا
فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ
اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum: 30)
Dari ayat dan hadits tersebut jelaslah bahwa pada dasarnya anak itu telah
membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para pendidiknya dalam
mengembangkan fitrah itu sendiri sesuai dengan usia anak dalam pertumbuhannya.
Dasar-dasar pendidikan agama ini harus sudah ditanamkan sejak peserta didik itu
masih usia muda, karena kalau tidak demikian kemungkinan mengalami kesulitan
kelak untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang diberikan pada masa dewasa.
Dengan demikian, maka agar pendidikan Islam dapat berhasil dengan
sebaik-baiknya haruslah menempuh jalan pendidikan yang sesuai dengan
perkembangan peserta didik, seperti disebutkan dalam hadits Nabi:
خَاطِبوُاالنَّاسَ
عَلىَ قُلُوْبِهِمْ (الحديث)
Artinya: “Berbicaralah kepada orang lain sesuai dengan tingkat perkembangan
akalnya” (Al-Hadits)
3. Kebutuhan-Kebutuhan Peserta Didik
Kebutuhan peserta didik adalah sesuatu kebutuhan yang harus didapatkan oleh
peserta didik untuk mendapatkan kedewasaan ilmu. Kebutuhan peserta didik
tersebut wajib dipenuhi atau diberikan oleh pendidik kepada peserta didiknya. Menurut
Ramayulis, ada delapan kebutuhan peserta didik yang harus dipenuhi, yaitu:
a.
Kebutuhan Fisik
Fisik seorang anak didik selalu mengalami pertumbuhan yang cukup pesat.
Proses pertumbuhan fisik ini terbagi menjadi tiga tahapan:
1) Peserta didik pada usia 0-7 tahun, pada masa ini peserta didik
masih mengalami masa kanak-kanak.
2)
Peserta didik pada usia 7-14
tahun, pada usia ini biasanya peserta didik tengah mengalami masa sekolah yang
didukung dengan peralihan pendidikan formal.
3) Peserta didik pada usia 14-21 tahun, pada masa ini peserta didik
mulai mengalami masa pubertas yang akan membawa kepada kedewasaan.[[10]]
b.
Kebutuhan Sosial
Adalah kebutuhan yang berhubungan langsung dengan masyarakat agar peserta
didik dapat berinteraksi dengan masyarakat lingkungan. Begitu juga supaya dapat
diterima oleh orang lebih tinggi dari dia seperti orang tuanya, guru-gurunya
dan pemimpinnya. Kebutuhan ini perlu agar peserta didik dapat memperoleh
kebutuhan ini perlu agar peserta didik dapat memperoleh posisi dan
berprestasi dalam pendidikan.[[11]]
c.
Kebutuhan untuk Mendapatkan
Status
Dalam proses kebutuan ini biasanaya seorang peseta didik ingin menjadi
orang yang dapat dibanggakan atau dapat menjadi seorang yang benar-benar
berguna dan dapat berbaur secara sempurna di dalam sebuah lingkungan masyarakat
d.
Kebutuhan Mandiri
Kebutuhan mandiri ini pada dasarnya memiliki tujuan utama yaitu untuk
menghindarkan sifat pemberontak pada diri peserta didik, serta menghilangkan
rasa tidak puas akan kepercayaan dari orang tua atau pendidik karena ketika
seorang peserta didik terlalu mendapat kekangan akan sangat menghambat daya
kreativitas dan kepercayaan diri untuk berkembang
e.
Kebutuhan untuk berprestasi
f.
Kebutuhan ingin disayangi
dan dicintai
g.
Kebutuhan untuk curhat
h.
Kebutuhan untuk memiliki
filsafat hidup
Peserta didik memiliki beberapa dimensi penting yang mempengaruhi akan
perkembangan peserta didik, dimensi ini harus diperhatikan secara baik oleh
pendidik dalam rangka mencetak peserta didik yang berakhlak mulia dan dapat
disebut insan kamil dimensi fisik (jasmani), akal,
keberagamaan, akhlak, rohani (kejiwaan), seni (keindahan), sosial.
Di dalam proses pendidikan seorang peserta didik yang berpotensi adalah
objek atau tujuan dari sebuah sistem pendidikan yang secara
langsung berperan sebagai subjek atau individu yang perlu mendapat pengakuan
dari lingkungan sesuai dengan keberadaan individu itu sendiri. Sehingga dengan
pengakuan tersebut seorang peserta didik akan mengenal lingkungan dan mampu
berkembang dan membentuk kepribadian sesuai dengan lingkungan yang dipilihnya
dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya pada lingkungan tersebut. Adapun
hal-hal yang harus dipahami adalah:
a. Kebutuhannya
b.
Dimensi-dimensinya
c.
Intelegensinya
d. Kepribadiannya.[[12]]
4. Karakteristik Peserta Didik
Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik
adalah:
a.
Peserta didik bukan
miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar
mengajar tidak boleh dilaksanakan dengan orang dewasa. Orang dewasa tidak patut
mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan mematuhi segala aturan dan
keinginannya, sehingga peserta didik kehilangan dunianya.
b.
Peserta didik memiliki
kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin.
Kebutuhan individu, menurut Abraham Maslow, terdapat lima hierarki kebutuhan
yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan tahap
dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan
terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan (2)
metakebutuhan-metakebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang
terkandung dalam aktualisasi diri, seperti keadilan, kebaikan, keindahan,
keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya. Sekalipun demikian, masih ada
kebutuhan lan yang tidak terjangkau kelima hierarki kebutuhan itu, yaitu
kebutuhan akan transendensi kepada Tuhan. Individu yang melakukan ibadah
sesungguhnya tidak dapat dijelaskan dengan kelima hierarki kebutuhan tersebut,
sebab akhir dari aktivitasnya hanyalah keikhlasan dan ridha dari Allah SWT.
c.
Peserta didik memiliki
perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang
disebabkan dari factor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang
meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang
mempengaruhinya. Pesrta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai
dengan hakikat manusia, peserta didik sebagai makhlukmonopluralis, maka
pribadi peserta didik walaupun terdiri dari dari banyak segi, merupakan satu
kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa)
d.
Peserta didik merupakan
subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif,
kreatif, serta produktif. Setiap peserta didik memiliki aktivitas sendiri
(swadaya) dan kreatifitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam pendidikan tidak
hanya memandang anak sebagai objek pasif yang bisanya hanya menerima,
mendengarkan saja.
e.
Peserta didik mengikuti
periode-periode perkembangan tertentu dalam mempunyai pola perkembangan serta
tempo dan iramanya. Implikasi dalam pendidikan adalah bagaimana proses
pendidikan itu dapat disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama
perkembangan peseta didik. Kadar kemampuan peserta didik sangat ditentukan oleh
usia dan priode perkembangannya, karena usia itu bisa menentukan tingkat
pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik, baik dilihat dari
dimensi biologis, psikologis, maupun dedaktis. [[13]]
5. Sifat-Sifat dan Kode Etik Peserta Didik dalam Pendidikan
Islam
Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman,
merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu:
a. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada
Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk
menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli)
dan mengisi dengan akhlak yang tepuji (tahalli) (perhatikan QS.
Al-An’am: 162, Al-Dzariyat: 56).
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
b. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah
ukhrawi (QS. Adl-Dluha: 4)وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ
لَكَ مِنَ الْأُولَى. Artinya,
belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pkerjaan, tapi juga belajar
ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat
kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan manusia dan Allah SWT.
c. Bersikap tawadlu’ (rendah hati) dengan cara
menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya. Sekalipunia
cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidikanya,
termasuk juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.
d. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai
aliran, sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan
mendalam dalam belajar.
e. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk
ukhrawi maupun untuk duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah).
Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, sementara ilmu tercela
akan menjauhkan dari-Nya dan mendatangkan permusuhan antar sesamanya.
f. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran
yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yangfardlu
‘ain menuju ilmu yang fardlu kifayah (QS.
Al-Insyiqaq: 19).لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ
طَبَقٍ
g. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang
lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara
mendalam. Dalam konteks ini, spesialisasi jurusan diperlukan agar peserta didik
memiliki keahlian dan kompetensi khusus (QS. Al-Insyirah: 7)فَإِذَا
فَرَغْتَ فَانْصَبْ
h. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang
dipelajari, sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
i.
Memprioritaskan ilmu diniyah yang
terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah SWT., sebelum memasuki ilmu
duniawi.
j.
Mengenal nilai-nilai
pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu ilmu yang bermanfaat dapat
membahagiakan, menyejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.
k. Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana
tunduknya orang sakit terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode
madzab yang diajarkan oleh pendidik-pendidik pada umumnya, serta diperkenankan
bagi peserta didik untuk mengikuti kesenian yang baik. [[14]]
Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam,
yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan.
Adapun syarat-syarat tersebut, yaitu[20]:
a. Memiliki kcerdasan (dzaka’); yaitu penalaran, imajinasi,
wawasan (insight), pertimbangan dan daya penyesuaian sebagai proses
mental yang dilakukan secara cepat dan tepat. Kecerdasan kemudian berkembang
dalam tiga definisi, yaitu: (1) kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri
terhadap situasi baru secara cepat dan efektif; (2) kemampuan menggunakan
konsep abstrak secara efektif, yang meliputi empat unsur, seperti memahami,
berpendapat, mengontrol, dan mengkritik; dan (3) kemampuan memahami
pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali.[21] Jenis-jenis kecerdasan meliputi; (1)
kecerdasan intelektual yang menggunakan otak kiri dalam berpikir linear; (2)
kecerdasan emosional, yang menggunakan otak kanan/intuisi dalam berpikir
asosiatif; (3) kecerdasan moral, yang menggunakan tolak ukur baik buruk dalam
bertindak; (4) kecerdasan spiritual, yang mampu memaknai terhadap apa yang
dialami dengan mengguanakan otak unitif; (5) kecerdasan qalbiyah atau ruhaniyah yang
puncaknya pada ketakwaan diri kepada Allah SWT.
b. Memiliki hasrat (hirsah), yaitu kemauan, gairah,
moril dan motivasi yang tinggidalam mencari ilmu, serta tidak merasa puas
terhadap ilmu yang diperolehnya. Hasrat ini menjadi penting sebagai persyaratan
dalam pendidikan, sebab persoalan manusia tidak sekedar mampu (qudrah)
tetapi juga mau (iradah). Simbiotis antara mampu (yang diwakili
kecerdasan) dan mau (yang diwakili hasrat) akan menghasilkan kompetensi dan
kualifikasi pendidikan yang maksimal. Motivasi
belajar dalam Islam adalah agar seseorang dapat mengenal (ma’arifah)
pada Allah SWT., karena Dia hanya mengangkat derajat bagi mereka yang beriman
dan berilmu (QS. Al-Mujadilah: 11. Az-Zumar: 9)
c. Bersabar dan tabah (isthibar) serta tidak mudah putus asa
dalam belajar, walaupun banyak rintangan dan hambatan, baik hambatan ekonomi,
psikologis, sosiologis, politik, bahkan administatif. Sabar adalah menahan (al-habs)
diri, atau lebih tepatnya mengendalikan diri, yaitu menhindarkan seseorang dari
perasaan resah, cemas, marah, dan kekacauan terutama dalam proses belajar.
Sabar juga meliputi menghindari maksiat, melaksanakan perintah, dan menerima
cobaan dalam proses pendidikan (QS. Ali Imran: 200). Menurut Al-Ghazali, sabar
terkait dengan dua aspek, yaitu: Pertama, fisik (badanî),
yaitu menahan diri dari kesulitan dan kelelahan badan dalam belajar. Dalam
kesabaran ini sering kali mendatangkan rasa sakit, luka dan memikul beban yang
berat; kedua, psikis (nafsi), yaitu menahan diri dari natur
dan tuntutan hawa nafsu yang mengarahkan seseorang meninggalkan pertimbangan
rasional dalam mencari ilmu.
d. Mempunyai seperangkat modal dan sarana (bulghah) yang
memadai dalam belajar. Dalam hal ini, biaya dan dana pendidikan menjadi
penting, yang digunakan untuk kepentingan honor pendidik, membeli buku dan
peralatan sekolah, dan biaya pengembangan pendidikan secara luas. Secara
spiritual, inilah investasi yang hakiki dan abadi yang dapat dinikmati untuk
jangka panjang dan masa depan di akhirat
e. Adanya petunjuk pendidik (irsyad ustadz), sehingga tidak
terjadi salah pengertian (misunderstanding) terhadap apa yang
dipelajari. Dalam belajar, seseorang dapat melakukan metode autodidak,
yaitu belajar secara mandiri tanpa bantuan siapa pun. Sekalipun demikian,
pendidikan masih tetap berperan pada peserta didik dalam menunjukkan bagaimana
metode belajar yang efektif berdasarkan pengalaman sebagai seorang dewasa,
serta yang terpenting, pendidik sebagai sosok yang perilakunya sebagai suri
tauladan bagi peserta didik. Dalam banyak hal, interaksi pendidikan tidak dapat
digantikan dengan membaca, melihat dan mendengar jarak jauh, tetapi
dibutuhkan face to face antara kedua belah pihak yang
didasarkan atas suasana psikologis penuh empati, simpati, atensi, kehangatan,
dan kewibawaan.
f. Masa yang panjang (thuwl al-zaman), yaitu belajar tiada
henti dalam mencari ilmu (no limits to study) sampai pada akhir
hayat, min mahdi ila lahdi (dari buaian sampai liang lahat).
Syarat ini berimplikasikan bahwa belajar tidak hanya di bangku kelas atau
kuliah, tetapi semua tempat yang menyediakan informasi tentang pengembangan
kepribadian, pengetahuan, dan keterampilan adalah termasuk juga lembaga
pendidikan.
D. Simpulan
1.
Peserta didik adalah seorang
individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari
segi fisik dan mental maupun fikiran
2.
Peserta didik dalam pendidikan
Islam adalah individu sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik,
psikologis, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di
akhirat kelak.
3.
Kebutuhan peserta didik yang harus
dipenuhi, yaitu: kebutuhan fisik, kebutuhan social, kebutuhan untuk mendapatkan
status, kebutuhan mandiri, kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan ingin
disayangi dan dicintai, kebutuhan untuk curhat, kebutuhan untuk memiliki
filsafat hidup.
4.
Karakteristik peserta didik
diantaranya: (a) peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai
dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh dilaksanakan dengan
orang dewasa, (b) peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan
kebutuhan itu semaksimal mungkin, (c) peserta didik memiliki perbedaan antara
individu dengan individu yang lain, (d) peserta didik dipandang sebagai
kesatuan sistem manusia. (e) peserta didik merupakan subjek dan objek
pendidikan, (f) peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu
dalam mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya.
5. Sifat-sifat dan kode etik peserta didik dalam pendidikan Islam
yaitu; (1) belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada
Allah SWT (2) mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan
masalah ukhrawi (3) bersikap tawadlu’(rendah
hati) (4) menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai
aliran.(5) mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah) (6) belajar
dengan bertahap (7) belajar ilmu sampai tuntas. (8) mengenal nilai-nilai
ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari. (9) memprioritaskan ilmu diniyah. (10) mengenalnilai-nilaipragmatis (11)
pesertadidikharustundukpadanasihatpendidik
E. Daftar Pustaka
Al Qur’an Al Karim
Abdul Rahman, Jamal, Tahapan Mendidik Anak, Penerjemah :
Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, (Bandung : Irsyad Baitus salam, 2008)
Ali, M. Nashir, Dasar-DasarIlmuMendidik, (Jakarta:
Mutiara, 1982).
Arifin, H.M., IlmuPendidikan
Islam, (Jakarta: BumiAksara, 1991), cet. 1.
Mujib, Abdul, IlmuPendidikan
Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), cet. 2.
Ramayulis, IlmuPendidikan
Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006.
Sardiman, Interaksi dan
MotivasiBelajarMengajar, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2010).
Tafsir, Ahmad, IlmuPendidikandalamPerspektif
Islam, (Bandung : PT. RemajaRosdaKarya, 2008), cet. 8.
Zuhairini, FilsafatPendidikan
Islam, (Jakarta : BumiAksara, 1995), cet. 2.
[1]Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
BumiAksara, 1995), cet. 2, h. 170.
[2]H.M.
Arifin, IlmuPendidikan Islam, (Jakarta: BumiAksara, 1991),
cet. 1, h. 144
[3]Sardiman, Interaksi
dan MotivasiBelajarMengajar, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2010),
h.111.
[4]Abdul
Mujib, IlmuPendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), cet.
2, h. 103.
[5]Abdul Mujib,
Ibid., h. 104
[6]Abdul Mujib,
Ibid., h. 103
[7]M. Nashir
Ali, Dasar-DasarIlmuMendidik, (Jakarta: Mutiara, 1982). h. 93.
[8]Zuhairini, FilsafatPendidikan
Islam, (Jakarta: BumiAksara, 1995), cet. 2, h. 170.
[9]Ahmad
Tafsir, IlmuPendidikandalamPerspektif Islam, (Bandung : PT. RemajaRosdaKarya, 2008),
cet. 8, h. 35.
[10]Abu
Ahmadi&NurUhbiyati, IlmuPendidikan, (Jakarat : PT.
RinekaCipta, 2006), cet. 2, h. 42.
[11]Ramayulis, IlmuPendidikan
Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006, h. 78
[12]Ramayulis, IlmuPendidikan
Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006, h. 78
[13]Abdul
Mujib, IlmuPendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008),
cet. 2, h. 105-106.
[14]Abdul
Mujib, ibid., h. 113-114
No comments:
Post a Comment
MONGGO KOMENTARIPUN, KANGMAS LAN MBAK AYU